MITOLOGI JAWADWIPA
Dalam tata peradaban Jawa terdapat kepercayaan adanya makhluk gaib yang juga menghuni Jagad. Begitu juga terdapat kepercayaan adanya hubungan antara para makhluk gaib tersebut dengan hidup dan kehidupan manusia. Artinya, para makhluk gaib itu ikut menerima perintah Tuhan Yang Mengelola Segala Makhluk (Gusti Kang Murbeng Dumadi) yaitu ikut menjaga dan melestarikan “keindahan jagad” (hayuning jagad). Dengan begitu, peradaban Jawa sangat mengerti “peran serta” para makhluk gaib yang ada itu terhadap hidup dan kehidupan manusia. Maka pranata peradaban Jawa (Kejawen) memberi petunjuk agar manusia Jawa mau berhubungan (srawung) baik dengan para makhluk gaib itu. Cara bergaul yang paling sederhana adalah memberi sesaji kepada para makhluk gaib itu. Sesaji itu bukanlah ritual penyembahan, tetapi hanya sebagai sarana bergaul dengan baik atau menjadi sarana untuk membangun “persaudaraan” dengan para makhluk gaib.
Mungkin saja karena kepercayaan adanya makhluk gaib dan tatacara bergaul dengan mereka itulah yang menyebabkan Kejawen didakwa tahayul dan klenik. Dakwaan demikian boleh-boleh saja, orang yang mendakwa itu kan hanya berbeda peradaban lahirnya saja. Kebanyakan mereka yang mendakwa itu tidak memiliki wawasan spiritual sama sekali. Ada konsep tentang manusia: “manusia itu adalah hewan yang bisa berpikir”, tepat sekali bagi yang tidak menggunakan wawasan spiritual.
Mitologi Jawa yang kelihatannya tahayul dan klenik, sebenarnya dapat diurai dengan nalar dan rasa. Dasarnya tetap dalam aras: religiusitas, humanis, dan kesadaran kosmis. Dengan demikian bisa dipahami bahwa Jawa sesungguhnya lebih menunjukkan tingkat keberadabannya melalui keper-cayaan adanya mahluk gaib dan tatacara bergaul dengan titah lain ciptaan Tuhan itu. Untuk itu mari kita kaji beberapa kepercayaan dalam mitologi Jawa berikut ini.
1. Kepercayaan Adanya Dhanyang
Kehidupan agraris orang Jawa menyadarkannya untuk memiliki perhatian besar terhadap kondisi lingkungan hidup-nya. Gunung, samudera, gumuk, kawah, sendang, telaga, bengawan, hutan dan sembarang tempat apa saja yang ada di sekitarnya dianggap memiliki daya pengaruh terhadap keadaan hidup manusia. Maka lalu ada kepercayaan bahwa semua tempat itu pasti ada yang mbaureksa yang disebut “dhanyang“.
Tempat-tempat tinggal para dhanyang yang mbaureksa tadi lalu diberi tanda berbentuk patung (arca). Jaman sebelum datangnya agama Hindu dan Buddha, tanda-tanda berupa arca lingga dan yoni. Ada juga yang berupa arca nenek moyang, yaitu arca kepala laki-laki dan perempuan bolak-balik (satu kepala dua muka berlawanan). Setelah datangnya agama Hindu dan Buddha, tanda-tanda tadi diubah dengan arca-arca “Bethara” atau “Bethari”.
Walaupun para leluhur Jawa dahulu senang membuat pertanda di tempat-tempat yang dianggap tempat bermukimnya para “Dhanyang Semara Bumi“, namun demikian bukan lalu dengan gampangan dianggap bahwa leluhur Jawa itu animis, gugon tuhon, dan klenik. Tujuan memberi tanda itu tidak lain hanya untuk menunjukkan bahwa tempat bertanda itu meru-pakan ‘tempat berkumpulnya’ (konsentrasi populasi) energi gaib yang harus dihormati dengan memberi sesaji. Hormat dengan memberi sesaji itu bukan “ritual penyembahan”, tetapi seperti halnya tanda pergaulan dan persahabatan sebagai sesama makhluk Tuhan. Sesama manusia yang saling berkunjung pun juga biasa saling memberi punjungan (buah tangan), bukan?
Malah, seandainya dinalar yang lebih dalam, upaya para leluhur memberi tanda arca di setiap sendang, telaga, dan sumber air yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat luas itu justru termasuk upaya cerdas dalam rangka menjaga kelestarian sumber daya alam. Sumber-sumber air tadi akan dianggap tempat wingit (sakral, terhormat), bukan sekedar angker dan ditakuti, agar semua warga disekitarnya mau merawat dan melestarikan sumber air tadi dengan baik. Tidak ada warga yang berani menjamahnya dengan sembarangan, apalagi meru-saknya. Sehingga sumber air tadi dapat lestari dimanfaatkan oleh masyarakat luas.
Bandingkan dengan kondisi jaman sekarang tentang perlunya diberlakukannya Undang-undang Sumber Daya Air, misalnya. Bukankah itu terjadi karena sumber-sumber air yang semula bermanfaat sebagai sumber pengairan persawahan dan pertanian pada umumnya, lalu dijamah sembarangan oleh para pengusaha air minum. Pertimbangannya semata-mata karena keserakahan ekonomi, bukan?
2. Kepercayaan Adanya Dewa-dewa
Dalam peradaban Jawa, memang ada kepercayaan adanya dewa-dewa yang ikut menentukan keadaan jagad. Mungkin saja kepercayaan akan dewa-dewa Jawa itu merupakan campuran peradaban Jawa-Hindu-Buddha, karena ada banyak kemiripan sebutan dewa-dewanya. Misalnya dewa “Bethara Guru” sebagai pemimpin para dewa. Kepercayaan demikian juga terdapat di peradaban Bugis Kuna (I La Galigo), peradaban Batak (Para-malim), peradaban Minangkabau (Pagar Ruyung), Dayak (Kaharingan) dan sebagainya.
Bila diperhatikan lebih jauh, kepercayaan Jawa akan dewa ternyata tidak sama dengan sistem Dewa Hindu. Dewa-dewa Hindu yang disebut Trimurti (Brahma, Wisnu, Syiwah) di Jawa dianggap anak Bethara Guru dan masih diberi saudara dewa yang banyak sekali jumlah dan jenisnya (kedudukan dan tugas kedewaannya). Apalagi, kenyataannya dewa-dewa di Jawa itu tidak disembah. Derajatnya dianggap makhluk ciptaan Gusti Kang Murbeng Dumadi dan dipersaudarakan dengan manusia (disedulurake).
Bila dikaji benar-benar, sesungguhnya menurut keperca-yaan Jawa, kejadian jagad raya seisinya, jelas bahwa diciptakan oleh Sang Hyang Wenang (sebutan Sesembahan asli Jawa). Dalam menciptakan jagad raya, terlaksana dengan jalan mere-mas antiga (telur, wiji, winih, bebakalan) di jagad awang-uwung suwung. Jagad Awang-Uwung itulah persemayaman Sang Hyang Wenang pribadi. Wujud ciptaan-Nya adalah jagad raya yang luasnya tanpa batas. Isinya adalah Manikmaya (Dzat Hidup, Suksma), bumi dan langit (jagad materi), cahaya dan energi (teja).
Manikmaya atau Dzat Hidup selanjutnya menjadi Hyang Manik dan Hyang Maya. Perumpamannya seperti bunga de-ngan tangkainya (kembang lan cangkoke) atau permata dengan embanannya (sesotya lan embane). Dapat juga digambarkan seperti inti sel hidup dengan plasmanya. Ketika bertempat pada “manusia” menjadi pancer dan sedulur papat.
Hyang Manik diberi wewenang untuk mengatur jagad, sedang Hyang Maya (Ismaya) diberi tugas memelihara (mo-mong) jagad seisinya. Dalam melaksanakan kewajiban dari Sang Pencipta, Hyang Manik dan Hyang Maya lalu menu-runkan anak. Walaupun dalam pewayangan penggambaran anak-turun dewa itu seperti “anak biologis”, tetapi sesu-ngguhnya wujud anak-anak dewa tadi adalah spiritual-derivative, artinya beremanasi lagi menjadi dewa-dewa yang akhirnya juga beremanasi masing-masing sesuai dengan tugas dan kedudukan kedewaannya.
Sebagai contoh: Hyang Anantaboga (Antaboga, yang digambarkan berwujud naga), dewa yang mengelola planet bumi, disebutkan bahwa dia adalah salah satu anak Hyang Maya (Hyang Ismaya atau Semar). Jadi Anantaboga adalah emanasi dari Hyang Maya (pamomong jagad) yang tugasnya mengelola (momong, to govern) bumi. Maka kahyangan Hyang Anantaboga adalah pusat bumi (telenging bumi : Sapta Pratala). Dengan demikian dapat ditarik pengertian bahwa Hyang Anantaboga adalah personifikasi daya keilahian bumi, yaitu bagian dari “Kekuasaan Ilahi” yang mengelola jagad dan mendapat tugas mengelola bumi. Pengaturan (penguasaan; wasesaning) jagad berada di tangan Hyang Manik (dalam pewayangan: Bethara Guru).
Jagad raya dicipta selaras dan indah (hayu) dalam segalanya. Akan tetapi dalam keselarasan itu sebenarnya terjadi pergolakan dinamis. Contohnya, bumi yang ditempati manusia ini kenyataannya dalam keadaan berputar pada porosnya dan dalam keadaan beredar mengitari matahari tanpa henti sejak diciptakan hingga nanti entah kapan berakhir. Putaran dan pergerakan bumi itu ternyata tidak sendirian, bahkan matahari yang dikitarinya juga dalam keadaan berputar pada poros dan dalam keadaan mengitari pusat galaksi Bimasakti. Ternyata lagi, galaksi Bimasakti juga dalam keadaan bergolak dinamis mengitari pusat super-galaksi, demikian seterusnya, sehingga jagad raya itu selalu berubah dinamis sejak diciptakan hingga nanti entah kapan berakhir. Menurut mitologi Jawa, yang menggerakkan jagad itu dipersonifikasi dengan sebutan Hyang Maya, atau Hyang Ismaya. Atau Hyang Taya, alias Semar. Dengan demikian, Hyang Ismaya atau Semar itu bukan nama sesembahan, tetapi merupakan manifestasi “Kuasa Ilahi” atau spiritual-derivative dari Sesembahan.
Selanjutnya “Kuasa Ilahi” tadi berpencaran (memancar) sesuai dengan kewajiban masing-masing. Semua dipersonifi-kasi dengan sebutan Hyang atau Bathara. Ada yang mbaureksa matahari disebut Hyang (Bethara) Surya. Ada yang mbaureksa samudera disebut Hyang Baruna, yang mengelola angin disebut Hyang Bayu dan sebagainya.
Hyang Anantaboga, spiritual derivative Kuasa Ilahi yang bertempat di bumi, selain menjaga keselarasan ordinat bumi di jagad raya, juga memiliki kewenangan menata keselarasan di dalam bumi itu sendiri. Disebutkan dalam cerita mitologis, bahwa ekor (pethit) Hyang Anantabogalah yang menyangga kahyangan dewa-dewa lain. Kajiannya, bahwa “Kuasa Ilahi” yang bersemayam di bumi itu juga yang mengimbangi “Kuasa Ilahi” yang bersemayam di benda-benda angkasa lainnya. Dengan begitu, bumi dapat terpelihara ordinatnya dan selalu berputar pada poros dan bergerak dalam orbitnya mengelilingi matahari.
Mitologi dewa-dewa Jawa juga menceritakan bahwa Hyang Anantaboga memiliki anak dan cucu yang mbaureksa di tempat-tempat tertentu di bumi. Artinya tempat-tempat yang “ditunggui” dan dikelola oleh anak-cucu Anantaboga itu merupakan konsentrasi energi kosmis bumi. Setiap tempat yang ada konsentrasi energi kosmis bumi dianggap wingit dan ditempati oleh dhanyang yang berwujud naga atau Ular Dhanyang. Menurut mitologi Jawa, Ular Dhanyang dianggap anak cucu Hyang Anantaboga.
Menurut mitologi Jawa, kahyangan para dewa untuk menjaga keselarasan bumi (jagad) bertempat di Gunung Tenguru (Himalaya). Akan tetapi dewa-dewa juga membangun kahyangan di Gunung Mahendra (Gunung Lawu) di Jawa. Maka lalu ada keyakinan bahwa Gunung Lawu merupakan konsentrasi energi spiritual yang berkaitan dengan “mandat kekuasaan” dari para dewa untuk para penguasa Jawa (Nusantara). Konsentrasi energi spiritual itu disebut “Jamur Dwipa”. Selanjutnya ada kepercayaan bahwa siapa saja yang dapat “menghisap” atau “mencerap” energi “Jamur Dwipa” dapat ditempati “Wahyu Keraton” dan dapat menjadi penguasa di Jawa (Nusantara).
3. Kepercayaan akan Lelembut dan Ratu Kidul
Bumi itu dalam keadaan berputar dan beredar mengelilingi matahari dengan tetap. Ordinatnya di jagad raya juga tetap tidak pernah jungkir balik yang menyebabkan berubahnya kedudukan kutub bumi atau mengubah arah perputarannya. Asumsi spekulatif berdasarkan pengetahuan alam dan matematika, “massa bumi” belahan bawah (Selatan) lebih solid konsentrasinya. Oleh karena itu, di bumi sebelah Selatan banyak ditemui bahan-bahan tambang logam berat seperti emas dan perak. Kutub Selatan Bumi juga berupa benua raksasa “Antartika”.
Jawa kebetulan bertempat di wilayah Selatan. Maka dari itu Jawa juga mengandung kekayaan bumi yang berupa bahan tambang logam berat itu. Akan tetapi, menurut kepercayaan (mitologi) Jawa, kekayaan bumi yang ada di Jawa dijaga dan dikuasai oleh para lelembut. Setiap golongan lelembut memiliki pemimpin masing-masing seperti “masyarakat manusia”. Dalam Kidung Reksa Wedha atau Suluk Plencung disebutkan nama-nama pemimpin lelembut seluruh tanah Jawa itu. Dije-laskan pula bahwa para raja dedemit dan semua warga lelembut di Jawa itu juga mempunyai kewajiban ikut memelihara kelestarian dan keselamatan negara yang berada di tanah Jawa.
Konsep lelembut bagi Kejawen bukanlah setan atau iblis yang menjadi musuh dan selalu menggoda manusia. Para lelembut itu juga sesama makhluk ciptaan Gusti Kang Murbeng Dumadi dan menjadi “saudara spiritual” manusia. Mereka dapat diajak bergaul baik-baik dan juga mau membantu manusia. Contohnya hingga sekarang, kenyataannya ada orang yang menjadi medium bagi lelembut (dhanyang) yang menunggu Gunung Merapi. Sewaktu-waktu Gunung Merapi akan meletus (mengeluarkan lahar dan awan panas), si medium tadi dibe-ritahu. Bahkan orang tersebut diangkat menjadi abdi dalem Keraton Ngayogyakarta.
Kepercayaan Jawa menganggap bahwa para lelembut itu juga hidup bermasyarakat seperti manusia. Mereka memiliki raja dan pemimpin di lokasinya masing-masing. Semua lelem-but seluruh Jawa menjadi warga Keraton Lelembut yang bertempat di Laut Selatan, yang dikuasai oleh Kanjeng Ratu Kidul.
Kepercayaan tentang Nyai Ratu Kidul ini memang banyak yang menganggap tahayul. Kemudian menganggap bahwa warga yang memberikan sesaji kepada Nyai Ratu Kidul itu musyrik karena dianggap menyembah lelembut. Dakwaan itu sebenarnya hanya didasari rasa yang menganggap dirinya “paling benar”. Pengertian memberi sesaji dianggap menyem-bah itu saja sudah menunjukkan kedangkalan pengertian spiritual dari si pendakwa.
Pengertian Jawa tentang sembah kepada Tuhan itu bukan “ritual” seperti yang diajarkan agama. Dalam faham Kejawen, penyembahan itu berupa segala aktivitas baik dalam rangka mèlu mêmayu hayuning jagad saisiné(ikut memperindah keindahan jagad seisinya). Karena Tuhan (Gusti Kang Murbeng Dumadi) sudah menciptakan jagad raya seisinya itu dengan keindahannya. Meskipun orang bersembahyang tiada henti sehari-hari atau rajin melakukan semedi hingga setengah mati, semua itu bukan bentuk “sembah sejati” kepada Tuhan, bila hidupnya bukan untuk ikut memperindah keindahan bawana. Begitulah anggapan tuntunan Jawa tentang bersembah kepada Sesembahan (Tuhan).
Menurut kepercayaan Jawa, Nyai Ratu Kidul itu juga makhluk Gusti Kang Murbeng Dumadi. Bukan sesembahan, tetapi hanya berkedudukan sebagai makhluk yang menjadi Ratu bagi lelembut tanah Jawa. Berhubung hanya makhluk ciptaan Sesembahan, Nyai Ratu Kidul juga memiliki kewajiban menjaga keselarasan bawana, terutama di tanah Jawa. Karena dipercaya sama-sama memiliki kewajiban memayu hayuning bawana, para penguasa tanah Jawa setelah jaman Majapahit harus bergaul secara baik dengan Kanjeng Ratu Kidul. Penger-tian kebablasannya, memunculkan anggapan bahwa para Sultan Mataram dianggap ‘memperisteri’ Kanjeng Nyai Ratu Kidul.
Karena dianggap ‘isteri’ para Raja tanah Jawa, maka Nyai Ratu Kidul juga dihormati (disuyudi, jw.) oleh masyarakat Jawa. Suyud itu hormat bukan sembah, maka sebaiknya tidak gampangan mendakwa syirik kepada tindakan saudara-saudara kita yang percaya dan hormat (suyud) kepada Kanjeng Nyai Ratu Kidul itu. Kira-kira saja tidak ada ajaran agama apa saja yang memerintahkan memusuhi “tata perbuatan” manusia lain yang tidak sama dengan isi ajaran agama yang terdapat di dalam kitab suci.
Berbagai cerita legenda dan mitologi berkembang tentang Nyai Ratu Kidul. Ada yang mengatakan bahwa dia adalah Putri Sekar Kedhaton (Putri pertama dari Permaisuri) Mamenang, yaitu anak perempuan Prabu Jayabaya yang bernama “Dewi Anginangin”. Ada juga yang mengatakan bahwa dia adalah Putri Pajajaran, saudara dari Dyah Pitaloka, puteri dari Sri Baduga yang ikut bela-pati puputan dalam insiden Bubat. Ada lagi cerita yang mengatakan bahwa Nyai Ratu Kidul adalah seorang Raja Puteri di jaman keemasan wangsa-wangsa di Jawa Tengah yang berhasil membangun Prambanan dan Borobudur. Jaman itu ada yang menamainya sebagai jaman Majapahit Pertama. Jaman keemasan itu secara misterius ditutup oleh Sang Hyang Wenang, sehingga hanya meninggalkan monumen atau petilasan yang berupa candi-candi.
Bisa dibayangkan, suatu jaman keemasan yang mampu membangun candi-candi demikian megah dan kuat, kok tidak meninggalkan “harta karun”. Juga tidak meninggalkan – misalnya – kerangka manusia yang terkubur. Dalam dongeng peristiwa penutupan jaman Majapahit I itu (barangkali dengan tsunami maha dahsyat!), seluruh makhluk hidup dan harta bendanya disembunyikan oleh Ki Lurah Semar yang seterusnya dijadikan lelembut yang mendiami tanah Jawa. Rajanya, ya Raja Puteri Kanjeng Ratu Kidul itu. Benar tidaknya, silakan dinalar-nalar sendiri.
Namun demikian, berhubung sudah berbentuk dongeng, cerita itu bisa mengandung kebenaran, bisa juga memang salah sama sekali. Yang penting bahwa kepercayaan adanya Kanjeng Nyai Ratu Kidul itu landasannya bahwa selain makhluk manusia yang hidup di bumi, juga ada makhluk Tuhan yang bersifat gaib yang disebut dengan lelembut. Lelembut itu bukan setan atau iblis seperti pengertian dalam agama-agama dari Timur Tengah. Bagi orang Jawa, lelembut itu ‘saudara sesama mahluk Tuhan’ bagi manusia. Oleh karena itu tidak perlu dianggap musuh, malah sebaiknya dipergauli secara baik. Dasarnya, sama-sama makhluk Tuhan tentunya juga memikul kewajiban penciptaan di jagad ini, yaitu dalam rangka memayu hayuning jagad yang sama-sama kita huni bersama mereka.
4. Kepercayaan Adanya Sabdapalon
Bagian mitologi Jawa yang banyak menarik perhatian adalah keberadaan Sabdapalon yang dipercaya mbaureksa kekuasaan di Jawa (Nusantara). Sabdapalon diyakini meru-pakan penjelmaan derivatif Hyang Ismaya (Semar) yang memiliki kewajiban menjadi pamomong semua penguasa (manusia) di Jawa (Nusantara).
Mitologi ini sebenarnya memiliki makna bahwa para penguasa yang diasuh (dimong) Sabdapalon itu merupakan penguasa yang memiliki ‘kedaulatan spiritual’, yaitu penguasa yang Agung Binathara. Penguasa yang dipatuhi dan dicintai oleh seluruh rakyatnya dan disegani oleh penguasa-penguasa negara lain.
Cerita yang banyak diyakini oleh para ahli kebatinan, tugas Sabdapalon terakhir adalah momong Prabu Brawijaya di Majapahit. Sabdapalon memilih berpisah dengan momong-annya, karena Prabu Brawijaya pindah agama, dari Agama Syiwa-Buddha (campuran Jawa-Hindu-Buddha) menjadi Islam yang datang dari Arab. Dengan begitu, Prabu Brawijaya dianggap telah kehilangan ‘kedaulatan spiritual’-nya. Sabda-palon memilih lengser (pensiun) dari kedudukannya sebagai pamomong raja kemudian bertapa tidur di pusat kawah (telenging) Gunung Merapi selama 500 tahun. Selama Sabdapalon bertapa itu, tanah Jawa tidak akan memiliki ‘kedaulatan’ lagi, serta tidak dihormati oleh bangsa-bangsa lain. Terbukti, bahwa sejak jaman Demak hingga Mataram Islam, para Sultannya perlu memohon legitimasi kekuasaannya kepada ulama Mekah, sedang para Sultan dari wilayah Sumatera dan Banten serta banyak lagi dari Indonesia Timur, memohon legitimasinya dari ‘Daulah’ Ottoman Turki. Bahkan Kesultanan Aceh, sebenarnya adalah salah satu wilayah Kesultanan Turki itu. Setelah itu Jawa dan Nusantara dijajah Belanda dan Jepang. Lho, kan itu berarti Jawa dan Nusantara tidak lagi memiliki ‘Kedaulatan Spiritual’ ?
Meskipun dapat dikaji seperti itu, tetapi sebaiknya cerita mitologi Jawa tentang Sabdapalon itu jangan diartikan sebagai penolakan Jawa terhadap Islam. Karena tidak ada ceritanya peradaban dan kebudayaan Jawa itu menolak masuknya paham agama macam apapun. Malah Jawa biasanya dapat mendukung sehingga agama-agama yang masuk itu mencapai keemasannya di tanah Jawa. Tuntunan Jawa tentang penyembahan pribadi kepada Yang Maha Kuasa dibebaskan, terserah kepada pilihan masing-masing. Mau menyembah dengan cara agama apa saja tidak akan pernah disalahkan. Pokoknya, paham dasar yang harus dilaksanakan setiap manusia adalah ketika hidup di dunia wajib beradab (berbudi luhur). Baik itu dalam bermasyarakat sesama manusia maupun dalam bergaul dengan sesama makhluk Tuhan yang lain. Kewajibannya, setiap orang diharuskan ikut memperindah keindahan jagad dengan cara memelihara dan melestarikan keselarasan (keharmonisan) antar sesama makhluk, dan mejauhkan diri dari perselisihan. Sekali lagi: Melu Memayu Hayuning Bawana!
Cerita Sabdapalon itu apa bila benar-benar didalami sungguh-sungguh, malah jelas menggambarkan kesalahan Prabu Brawijaya dalam mengelola kedaulatan yang digenggam-nya. Sebab Prabu Brawijaya yang kaya-raya dan berkedudukan maharaja (diugung raja brana lan kuwasa) lalu lupa melak-sanakan ‘amanah kedaulatan’-nya dengan benar. Ceritanya, Prabu Brawijaya terakhir memiliki selir yang banyak sekali, maka anaknya juga sangat banyak. Semua anak-anak itu diberi “kedudukan” mengurus pemerintahan negara Majapahit. Jaman sekarang, tindakan itu disebut dengan Nepotisme. Oleh sebab itu, raja Majapahit lalu hilang kewibawaannya. Negara besar itu menjadi ringkih. Akhirnya ketika para Bupati Pesisir membantu Demak berperang dengan Majapahit, rakyat Majapahit tidak mau membela atau tidak ikut mempertahankannya.
Sabdapalon, sebenarnya merupakan simbul atau perso-nifikasi kesetiaan rakyat kepada rajanya, kepada pemimpin negaranya atau kepada pemerintahnya. Sabdapalon memilih pisah dari Prabu Brawijaya, berarti rakyat sudah kehilangan kesetiaannya kepada raja Majapahit itu. Istilahnya terjadi pembangkangan publik terhadap kepemimpinan Brawijaya, tidak mau membela kerajaan ketika berperang melawan Demak dan Bupati-bupati Pesisir. Cerita itu disamarkan dengan pernyataan, bahwa Sabdapalon akan bertapa tidur selama 500 tahun. Cerita itu juga memuat pengertian, bahwa 500 tahun setelah runtuhnya Majapahit, rakyat Jawa (Nusantara) akan tumbuh kembali kesadarannya sebagai bangsa terjajah dan akan memiliki kesetiaan kembali kepada pemimpin bangsanya. Munculnya rasa kebangsaan dan kesetiaan terhadap tanah air itu digambarkan tidak dapat dibendung seperti meletusnya Gunung Merapi.
Nah, mari dikaji bersama-sama dengan enak dan hati jernih tentang berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia ini, bahwa dahulunya (pra kemerdekaan dan setelah 17 Agustus 1945), gemanya kan melebihi meletusnya Gunung Merapi? Bahwa sejak 17 Agustus 1945 itu kita lahir kembali menjadi bangsa Indonesia yang menggenggam kembali kedaulatan spiritual kita. Atas berkat rahmat Allah perjuangan kemer-dekaan Indonesia telah mengantar ke gerbang kemerdekaannya, demikian yang ditulis para pendiri bangsa kita di Pembukaan UUD 1945. Kita telah diberi kembali kemerdekaan spiritual oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang pokok sebenarnya, apakah kita semua bisa merasa (ngrumangsani) bahwa telah dianugerahi kemerdekaan itu atau tidak. Kalau merasa, tentunya kita akan memiliki rasa setia, bangga dan mantap untuk memperjuangkan terus kejayaan Indonesia, bukan malah semakin meruntuhkan NKRI dengan ikut berperan dalam penyebaran KKN yang semakin menjadi-jadi dan membudaya di mana-mana seperti sekarang ini. Perlu diingat, bahwa dengan inspirasi Proklamasi Indonesia 17 Agustus 1945 itu, negara-negara jajahan lainnya lalu ikut berjuang memperjuangkan kemerdekaannya. Dan kelihatannya hanya Indonesia saja bekas negara jajahan yang berdiri pada abad XX dengan mempro-klamasikan diri, yang lainnya biasanya diberi kemerdekaan oleh para penjajahnya!
5. Kepercayaan adanya Pulung dan Wahyu
Dalam hidup bermasyarakat, orang Jawa percaya akan adanya Pulung dan Wahyu yang berkaitan dengan kekuasaan negara. Orang Jawa percaya bahwa para penguasa negara (keraton) itu mendapat pulung atau wahyu keraton. Sebab hanya manusia yang unggul (mendapat wahyu dan pulung) yang bisa dan kuat menerima amanah menjadi penguasa negara, menjalankan amanah kepamongan atas seluruh wilayah kedaulatannya; Sembada Ngembat Pusaraning Praja. Unggul-nya manusia penyandang wahyu/pulung itu bukan yang nampak dalam tata-lahir, melainkan juga mencakup kewiba-waan (kharisma) dalam memimpin rakyat.
Pulung artinya keberuntungan yang diberikan Tuhan kepada seseorang sehingga orang itu dapat menjadi penguasa. Sedang wahyu adalah wujud kelebihan yang diberikan Tuhan kepada seseorang yang dikehendaki-Nya dapat melaksanakan tugas sebagai raja.
Pulung memang suatu kepastian dari Yang Mengelola Makhluk, tetapi pulung bisa juga nemu, seperti yang dilukiskan dalam cerita wayang “Petruk Dadi Ratu“. Cerita itu sebenarnya untuk menyindir orang kecil (wong cilik) yang nemu pulung penguasa sehingga menjadi raja. Padahal jadi raja itu perlu berbagai syarat kebisaan macam-macam yang umumnya tidak dimiliki oleh wong cilik seperti halnya Petruk. Makanya setelah menjadi raja dan memiliki kekuasaan, Petruk jadi lupa daratan. Tingkah lakunya merusak aturan negara yang dikuasai. Pokoknya bersikap sebagai Petruk, tetapi diterapkan untuk mengelola negara. Akibatnya rakyat menjadi bingung tidak keruan. Maka Prabu Kresna, titisan Wisnu, yang bertugas menjaga ketenteraman jagad, memerintahkan Gareng yang juga wong cilik untuk menyelesaikan masalah. Petruk yang seorang raja mau diajak gulat tanpa senjata seperti gulatnya anak kecil (ini perbuatan yang pantang bagi seorang raja) melawan Gareng, sehingga pulungnya hilang (oncat), Raja Petruk kembali ke asal sebagai Petruk Punakawan (abdi, hamba).
Mungkin saja maksud yang membuat cerita “Petruk Dadi Ratu” (mesthinya pujangga yang bijaksana) adalah memberi ajaran yang disamarkan. Bahwa bilamana ada penguasa (ting-katan apa saja) yang sejatinya tidak pantas, maka akhirnya akan merusak aturan. Padahal aturan yang selaras dan baik itu merupakan “cita-cita” yang selalu diperjuangkan oleh manusia dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Maka ketika aturan sudah rusak akan ada pemberontakan para kawula yang tercerahkan, yaitu berwujud Gareng yang diberi “kesaktian” oleh Prabu Kresna, walaupun bentuknya sederhana, “berani menantang Raja Petruk untuk Duel Gelut Uleng“. Mengajak Raja Petruk untuk menyadari kembali bahwa sejatinya dia tidak pantas menjadi raja, karena keadaannya memang bukan berjatah sebagai raja.
Jadi, pulung dapat disandang oleh siapa saja. Berbeda dengan wahyu yang selalu memilih tempat bersemayam. Tempatnya adalah seseorang yang memiliki sifat “Satriya Anuraga“. Satria yang selalu memelihara kesetiaannya kepada bangsa dan negaranya. Namun begitu, wahyu juga bisa dirampok (dibajak) oleh orang-orang yang bukan satria sama sekali. Hanya saja, bila si pembajak kurang kuat ya berubah jadi gendheng atau dèglèngbanyak tingkah laku ngawurnya yang kemudian membuat sang wahyu pergi (oncat).
Dalam pewayangan bajak-membajak wahyu ini salah satunya dicontohkan dalam lakon Wahyu Cakraningrat. Wahyu ini seharusnya bersemayam di Abimanyu, anak Arjuna. Namun demikian, berhasil dibajak oleh Lesmana (anak Duryudana) dan Samba (anak Kresna). Berhubung Lesmana dan Samba tidak kuat, maka setelah ditempati (disemayami) “wahyu keraton” malah menjadi gila dan sombong. Padahal Lesmana dan Samba ini anak raja, sedang Abimanyu hanya anak “pangeran”.
Kepercayaan orang Jawa tentang pulung dan wahyu me-mang sering dijadikan bahan olok-olok oleh kelompok masyarakat yang tidak percaya. Padahal sesungguhnya ada ajaran keutamaan tentang urusan bernegara dan menjadi penguasa yang melatar-belakangi kepercayaan orang Jawa itu. Setidak-tidaknya ajaran spiritual dalam mengurus negara dan kekuasaan:
Mengurus negara dan kekuasaan membutuhkan orang pilihan yang mumpuni (kompeten) bukan hanya dalam tata lahir, tetapi juga dalam kebatinannya (spiritualnya). Agar dapat mumpuni, disyaratkan untuk mengendalikan diri dan melatih “budi pribadinya”, bukan hanya karena mendapat restu para pendeta atau ulama (jaman sekarang). Kalau dipaksakan dengan taktik politik yang tidak didasari budi luhur pasti kuwalat. Tidak bakal tahan lama memegang kekuasaan, dan biasanya ditambah mendapat “piwelèh” seperti yang dialami “Ratu Petruk” yang dibuka kedoknya oleh Gareng, jatuhnya akan sangat memalukan sekali dan selanjutnya menjadi “tidak kajèn” hidupnya. Kehilangan kawiryan, padahal tadinya mengejarnya!
Mengurus negara dan kekuasaan negara tidak boleh dibuat mainan atau hanya untuk kepentingan pribadi, kelompok atau golongan, tetapi merupakan amanah dari Tuhan Yang Maha Agung demi rakyat banyak dan seluruh tumpah darah (demi nusa dan bangsa). Orang terpilih itu haruslah yang kuat dan mampu memegang jalannya roda pemerintahan yang menyejahterakan dan berkeadilan, sehingga memiliki watak Ratu Gung Binathara (raja Agung yang dianggap titisan Bathara). Artinya mampu mandiri (mandirèng pribadi) agar pengaruhnya membuat rakyat juga memiliki sikap mandiri dan merdeka. Walaupun sakti seperti apapun, pendeta atau ulama, tetap tidak pantas dimintai restu atau legitimasi oleh seseorang untuk menjadi penguasa negara. Dalam konsep Jawa, drajat pendeta atau ulama itu tetap di bawah raja. Tentang hal ini, dalam cerita wayang dicontohkan dengan tidak kuatnya Lesmana menyandang Wahyu Cahkraningrat. Lesmana berhasil membajak wahyuberkat restu pendeta dari mancanegara (Durna) dan didukung oleh para birokrat nepotis yang penuh pamrih (Sengkuni dan kawan-kawan). Wahyu keraton juga tidak akan bersemayam kepada seseorang yang tidak mantap sikapnya (mangro tingal). Sepandai apapun Raden Samba tetap tidak kuat dihuni Wahyu Cakraningrat, sebab wahyu itu untuk “calon” raja Hastina, sedang Samba adalah putera Dwarawati. Analogi untuk jaman sekarang: Yang ingin menerima wahyu menjadi pemimpin di Indonesia ya harus tidak mendua kiblat ideologinya. Harus tidak meninggalkan Ideologi Kebangsaan Indonesia!
Sajian penulis tentang mitologi Jawa ini hanya berdasar penalaran pribadi. Dengan demikian masih ada yang kurang atau malah kebablasan. Memang, penulis hanya ingin menyam-paikan uraian mitologi itu dengan penalaran. Contoh-contoh yang dikemukakan juga masih sangat sedikit. Mestinya masih banyak yang harus bersama-sama dikupas wacana mitologi Jawa lainnya.
Penulis juga menyadari bahwa mitologi Jawa itu tumbuhnya sudah ratusan tahun yang lalu, dan sudah banyak tercampur dengan kepercayaan-kepercayaan lain yang ber-datangan ke tanah Jawa. Padahal watak asli orang Jawa adalah selalu (mudah) menerima dan momong pendapat-pendapat lain. Yang tidak nyambung, disambung-sambungkan agar dapat menjadi selaras, tidak membuat kekacauan dan keonaran. Umpamanya saja yang ditulis oleh beberapa pujangga Jawa abad XIX. Sulit untuk dipahami, bahwa silsilah raja-raja Jawa itu merupakan anak keturunan para dewa dan para dewa itu keturunan Nabi Adam. Kenyatannya ya begitu itulah cara orang Jawa memuat dan mengasuh (ngemot lan momong) semua kepercayaan yang dimiliki manusia. Memang nylenèh, tetapi selalu mengupayakan kebaikan, kok!
SUMBER : https://kisondongmandali.wordpress.com/2016/02/20/mitologi-jawa/
0 komentar:
Posting Komentar
Kumaha tah saur anjeun.....