MISTERI TERCIPTANYA HAJAR ASWAD BELUM TERPECAHKAN
Dalam
beberapa pekan ini kita akan kedatangan para jamaah haji yang baru pulang dari
Ibadah haji di Makkah. Tentusaja ada cerita tentang Air Zam-zam juga ada cerita
Hajar Aswad yang berupa batu hitam itu. Nah, berbicara soal batu tentunya
sebagai ahli batu akan tertarik untuk melihat, jenis batu apakah Hajar Aswad
ini ?
Yang senang
sekali dengan dunia langitan, atau dunia langit juga ikuta menuliskan tentang
batu ini. Karena banyak cerita dibalik batu hitam Hajar Aswad ini sebagai
batuan meteorit. Benarkah ?
Dahulu
Hajar Aswad berupa batuan utuh yang diperkirakan berukuran 30 cm. Kini
merupakan 15 pecahan yang ditanam dalam sebuah matriks semen sebagai
pengikatnya, yang dilakukan pada masa restorasi al-Utsmani tahun 1631. Dari 15
pecahan, hanya 8 yang nampak di permukaan matrik. Matriks semen selanjutnya
dilindungi dengan lingkaran perak, kebiasaan sejak zaman Abdullah ibn Zubair di
akhir kekhalifahan Khulafaur Rasyidin.
Prior-Hey,
seorang geolog, pada tahun 1953 mempublikasikan Catalog of Meteorites yang
telah bertahun disusunnya. Hajar Aswad oleh Prior-Hey dianggap merupakan batu
meteor (meteorit) sehingga turut dimasukkan ke dalam katalognya. Anggapan
Prior-Hey rupanya berasal dari pendapat Kahn, seorang geolog lainnya, yang pada
tahun 1936 memang berpendapat Hajar Aswad adalah meteorit aerolit, yakni
meteorit yang tersusun oleh senyawa-senyawa penyusun batuan dan tidak
didominasi oleh Besi dan Nikel yang berlimpah sebagaimana halnya meteorit besi
(siderit). Sejak itu anggapan bahwa Hajar
Aswad
merupakan batu meteor terpatri dalam benak publik. Seorang Agus Mustofa
misalnya, dalam bukunya yang terkenal “Pusaran Energi Ka’bah” mendukung ide
Hajar Aswad sebagai meteorit, agak aneh yakni dengan mendasarkan terjadinya
peristiwa sambaran petir terhadap Ka’bah tatkala Makkah diguyur hujan
rintik-rintik pada suatu musim haji. Agus Mustofa meyakini petir menyambar
Ka’bah, bukan bangunan lainnya yang lebih tinggi, karena konduktivitas Hajar
Aswad yang disebabkan oleh berlebihnya kandungan Besi didalamnya.
Sebenarnya
sangat sulit memahamkan Hajar Aswad sebagai meteorit. Beberapa sifat dasar
Hajar Aswad, seperti diketahui pada tahun 950 saat Gubernur Makkah Abdullah ibn
Akim menguji batu-batu yang diduga Hajar Aswad yang dicuri sekte Ismailiyah
Qaramithah 22 tahun sebelumnya, adalah terapung di air dan tidak
pecah/terpanaskan meskipun dibakar di nyala api. Terapung di air menandakan
densitas (massa jenis) Hajar Aswad lebih kecil dibanding densitas air, sehingga
densitas Hajar Aswad kurang dari 1 gram/cc. Sementara tidak terpanaskan tatkala
dibakar menunjukkan konduktivitas termal Hajar Aswad rendah dan tidak pecah
akibat panas menunjukkan kekuatannya (daya ikat antar penyusunnya) cukup
tinggi. Sifat lainnya, sebagaimana dipaparkan geolog Farouk el-Baz tatkala
menunaikan ibadah haji, adalah tingkat kekerasannya yang tinggi (minimal skala
Mohs 7 atau setara batu permata). Sifat lainnya lagi adalah warnanya yang putih
susu, sebagaimana dipaparkan sejarawan Muhammad ibn Nafi al Khaza’i yang
menyaksikan langsung kondisi Hajar Aswad menjelang restorasi Sultan Murad
al-Utsmani di tahun 1631.
Dugaan
meteorit pallasit
Disebelah
kanan ini adalah meteorit pallasit, meteorit batuan yang mengandung
butiran-butiran olivine, yang beberapa diantaranya berwarna putih susu dan
beberapa lainnya relatif tembus cahaya. Hajar Aswad semula dikira mineral
olivine monolitik dalam meteorit palasit. Namun ciri-ciri keduanya sangat
berbeda.
Pengamatan
fotografis memang menunjukkan ada jenis meteor yang memiliki densitas lebih
kecil dari 1 gram/cc, yakni meteor-meteor yang berasal dari remah-remah komet,
yakni meteor yang tergabung dalam hujan meteor periodik. Ini juga ditunjang
hasil pengamatan wahana antariksa terhadap komet tertentu seperti komet Halley,
Borrely, Wild dan Tempel-1 yang semuanya menunjukkan bahwa densitas komet lebih
kecil dari 1 gram/cc. Namun meteor-meteor periodik ini tak pernah bisa
menyisakan meteorit karena senantiasa habis terbakar di atmosfer Bumi. Dan
dengan sifat komet yang rapuh, yang tersusun dari gumpalan debu-debu sehalus
bedak, merupakan sifat yang sangat berkebalikan dengan Hajar Aswad. Karena itu
gagasan Hajar Aswad sebagai meteorit mendapat tantangan dari segenap penjuru
mengingat sifat-sifat kedua benda tersebut saling berkebalikan satu sama lain.
Ide Hajar
Aswad sebagai meteorit, terakhir kali diangkat Elsebeth Thomsen, seorang geolog
dan palentolog Swedia pada tahun 1980. Kali ini Thomsen menggunakan pendekatan
tak langsung, yakni dengan menegakkan dugaan bahwa Hajar Aswad kemungkinan
besar merupakan batuan yang dibentuk akibat suatu proses tumbukan benda langit,
yakni proses jatuhnya meteorit besar (boloid) dengan kecepatan yang sangat
tinggi sehingga diikuti pelepasan energi kinetik yang sangat besar sehingga
menyamai kuantitas energi yang dilepaskan dalam peristiwa ledakan nuklir.
Dugaan
sebagai impactit (batuan metamorfik tingkat tinggi)
Dibanding
gagasan sebelumnya, hipotesis Thomsen menawarkan sesuatu yang lebih menarik.
Thomsen secara tegas menunjuk Hajar Aswad sebagai sejenis impaktit, yaitu
batuan metamorfik tingkat tinggi yang hanya bisa dihasilkan akibat tumbukan
boloid di sedimen pasir lepas seperti terdapat di padang pasir. Ketika sebuah
tumbukan benda langit terjadi, gelombang kejut yang dihasilkannya mampu
melelehkan silika dalam pasir dan mencampurnya dengan material boloid menjadi
lelehan mirip lava yang khas, namun hanya berlangsung hingga jarak tertentu
dari titik tumbuk.
Di luar
jarak tersebut, gelombang kejut hanya mampu menekan dan memampatkan butir-butir
pasir demikian padat hingga menjadi bongkah-bongkah mirip batupasir. Di padang
pasir ar-Rub’ al-Khali alias Empty Quarter yang membentang di bagian selatan
Jazirah Arabia, memang dijumpai sebuah struktur kawah tumbukan, yakni Struktur
Wabar, yang berada di wilayah al-Hadida pada jarak 550 km di sebelah tenggara
kota Riyadh, ibukota Saudi Arabia.
Impaktit
dijumpai di Struktur Wabar sebagai bongkahan berwarna putih susu yang beberapa
diantaranya berongga-rongga sehingga bisa mengapung di air selayaknya batu
apung (pumice). Sejumlah impaktit ditemukan terselaputi lapisan tipis kehitaman
mengkilap yang sejatinya merupakan campuran lelehan silika dengan material
boloid. Uji penanggalan (dating) dengan metode fission-track terhadap sampel
impaktit yang tersimpan di British Museum dan Smithsonian Institution, hasil
ekspedisi 1932, oleh Storzer dan Wagner di tahun 1977 menghasilkan irisan waktu
menggetarkan : impaktit tersebut terbentuk 64 abad silam. Ini melampaui waktu
pembangunan kembali Ka’bah (dan juga peletakan Hajar Aswad) oleh Nabi Ibrahim
AS dan Nabi Ismail AS, yang dalam konteks sejarah diletakkan terjadi pada 40
abad silam. Ketika sifatnya sama dan umurnya lebih tua dari waktu pembangunan
Ka’bah, akankah Hajar Aswad sesungguhnya adalah impaktit Wabar ?
Struktur
Wabar memiliki luas 1.000 x 500 meter persegi yang terdiri dari 3 buah kawah,
masing-masing berdiameter 116 m, 64 m dan 11 m. Struktur Wabar terbentuk ketika
sebuah boloid besi (tersusun oleh 90 % Besi dan 4 % Nikel) seberat 3.170 ton
jatuh menghantam pada kecepatan 5-7 km/detik hingga melepaskan energi setara 10
kiloton TNT atau separuh energi ledakan bom Hiroshima. Wabar adalah 1 dari 17
struktur tumbukan yang masih menyisakan boloid pembentuknya, di antara lebih
dari 170 struktur yang telah disahihkan sebagai struktur tumbukan berdasarkan
investigasi geologi. Wabar pertama kali dikunjungi manusia dalam ekspedisi
Harry St. John “Abdullah” Philby tahun 1932. Di tahun 1965, para geolog ARAMCO
(perusahaan minyak patungan AS dan Saudi Arabia) mengunjungi lokasi ini dan
berhasil mengangkat sisa boloid Wabar seberat 2,2 ton yang kemudian disimpan di
King Saud University, Riyadh.
Namun
survei geologi mendetail belum pernah dilaksanakan sebelum tahun 1994, tatkala
geolog legendaris Eugene M. Shoemaker melaksanakan 3 investigasi komprehensif
terhadap Struktur Wabar. Selain berhasil mengungkap morfologinya, struktur
geologinya dan proses pembentukan kenampakan-kenampakan unik di dalam struktur,
Shoemaker juga melakukan penanggalan dengan metode termoluminesens yang hasilnya
tak kalah mencengangkan : Struktur Wabar terbentuk kurang dari 4,5 abad silam,
bukan 64 abad silam. Kesimpulan ini didukung dari analisis kuantitatif terpisah
yang dikerjakan pakar gurun pasir terhadap kecepatan penimbunan kawah-kawah di
Wabar oleh pasir. Setelah sempat diduga Struktur Wabar terbentuk ketika muncul
fenomena fireball Nejed pada tahun 1863 dan 1891, analisis lebih lanjut yang
lebih hati-hati akhirnya menyimpulkan Struktur Wabar terbentuk di kala senja 9
Januari 1704 alias 3 abad silam. Tumbukan benda langit yang membentuk Struktur
Wabar demikian dahsyatnya sehingga suara dentumannya terdengar ke seluruh
penjuru Jazirah Arabia, satu fenomena tak biasa yang dicatat penyair-penyair
Arab dalam puisi-puisinya.
Thomsen. 1980. New Light On The Origin of The Holy Black Stone of The Ka’ba. Meteoritics 15 no. 1 (1980) : 87-91.
Umurnya
tidak klop.
Dan
akhirnya, hipotesis Thomsen pun rontok dengan sendirinya setelah diketahui
bahwa Struktur Wabar berusia 3 abad, jauh lebih muda ketimbang masa pembangunan
Ka’bah 40 abad silam, bahwa Hajar Aswad bukanlah meteorit, juga bukanlah
impaktit. Sehingga kita bisa mencoret Hajar Aswad dari katalog meteorit. Lantas
darimana asal Hajar Aswad itu sebenarnya? Inilah pertanyaan yang tetap
menggelitik dalam perspektif ilmu pengetahuan terkini.
Nah
begitulah pengetahuan tentang Hajar Aswad dari sisi keilmuan tentang
batu-batuan. Memang bukan menyimpulkan batuan apakah Hajar Aswad itu. Namun
dengan mempelajari batuan inipun kita akan mendapatkan manfaat yang sangat
banyak berupa pengetahuan yang jauh berharga dari sekedar meyakininya saja.
keyakinan yang terus dikembangkan selalu saja mendapatkan manfaat.
Referensi
:
Wynn & Shoemaker. 1998. The Day The Sands Caught Fire. Scientific American November 1998 : 65-71.
0 komentar:
Posting Komentar
Kumaha tah saur anjeun.....